Sebuah gempa tektonik kuat terjadi di Samudera Hindia lepas pantai
selatan Jawa Tengah pada Sabtu 25 Januari 2014 pukul 12:14 WIB.
Berdasarkan rilis pendahuluan National Earthquake Information United States Geological Survey
(USGS, semacam BMKG-nya AS), episentrum gempa berada di koordinat 8,004
LS 109,238 BT dengan kedalaman 83 km dari dasar laut dan magnitudo (mb)
6,1 skala Richter. Sementara rilis pendahuluan Pusat Gempa Nasional
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam rilis awalnya
menyatakan koordinat episentrum adalah 8,48 LS 109,17 BT dengan
kedalaman 48 km dari dasar laut dan magnitudo (mb) 6,5 skala Richter.
Rilis pendahuluan tersebut sifatnya hanya sementara,
sebab dalam
beberapa waktu kemudian terjadi pembaharuan. Dalam versi USGS, koordinat
episentrum adalah 7,976 LS 109,246 BT dengan kedalaman 89 km dengan
magnitudo tetap 6,1 skala Richter. Sementara versi pembaharuan BMKG
menempatkan episentrum di koordinat 8,22 LS 109,22 BT dengan kedalaman
79 km dan magnitudo sedikit berubah, yakni 6,2 skala Richter.
Secara geografis sumber gempa ada di dasar Samudera Hindia lepas
pantai Jawa Tengah bagian selatan tepatnya di perbatasan Kabupaten
Kebumen dan Cilacap. Posisi episentrum gempa berdasarkan versi
pembaharuan USGS dan BMKG sejatinya lebih dekat ke kota Cilacap
dibanding dengan kota Kebumen, sebagai acuan terdekat. Namun BMKG
menyebut gempa ini sebagai gempa Kebumen, lengkapnya Gempa Kebumen 25
Januari 2014.
Energi dan Susulan
Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam pemberitaan gempa bumi
adalah perbedaan nilai magnitudo (kekuatan) gempa antara satu sumber
dengan sumber yang lainnya. Pun demikian pada gempa Kebumen 25 Januari
2014 ini (demikian menurut penamaan BMKG). Meski sudah diperbaharui
seiring kian banyaknya data yang terkumpul, posisi episentrum versi BMKG
dan USGS masih berselisih jarak sebesar 27 km, suatu jarak yang cukup
besar untuk ukuran manusia. Nilai magnitudonya pun sedikit berbeda,
antara 6,1 (USGS) dan 6,2 (BMKG). Pun demikian kedalamannya, antara 89
km (USGS) dan 79 km (BMKG). Bagaimana selisih ini bisa terjadi?
Perbedaan semacam ini sebenarnya wajar dan masih bisa diterima dalam
koridor ilmiah. Mengingat masing-masing sumber mengambil data dari
stasiun-stasiun seismometer (pengukur) gempa yang berbeda-beda serta
menggunakan metode perhitungan yang berbeda pula. Selain itu BMKG
umumnya memilih memublikasikan data sebuah gempa dengan mendasarkan
jenis magnitudo mb (body-wave magnitude). Selain cukup efektif
untuk mendeskripsikan gempa-gempa berkekuatan kecil, menengah hingga
kuat, jenis magnitudo ini juga memenuhi harapan yang dibebankan pada
BMKG agar bisa merilis data sebuah gempa dalam tempo secepat mungkin.
Ini mengingat mayoritas kawasan pesisir di Indonesia merupakan kawasan
rawan tsunami. Pada umumnya tsunami yang dihipotesiskan terbentuk
menyertai sebuah gempa tektonik di Indonesia hanya butuh waktu setengah
jam saja sebelum tiba di garis pantai terdekat. Untuk kepentingan
peringatan dini, maka BMKG harus bisa memublikasikan data sebuah gempa
secepat mungkin. Pada saat ini BMKG merilis data gempa hanya dalam waktu
5 menit pasca gempa bumi itu sendiri mulai terjadi.
Sementara USGS umumnya lebih memilih jenis magnitudo lainnya yakni Mw (moment-magnitude).
Jenis magnitudo ini adalah jawaban untuk mengatasi problema alamiah
yang sering dihadapi jenis magnitudo mb, yakni tersaturasi (terjenuhkan)
kala merekam gempa-gempa besar. Akibat saturasi, sebuah gempa besar
mungkin hanya akan terekam sebagai gempa dengan magnitudo mb 6,4 skala
Richter saja seperti dalam kasus gempa Sumatra-Andaman 26 Desember 2004
silam (gempa Aceh). Padahal jika menurut jenis magnitudo Mw gempa
tersebut memiliki kekuatan hingga 9,0 (dan kemudian direvisi menjadi
9,2). Karena itu jenis magnitudo Mw cukup efektif dalam mendeskripsikan
gempa-gempa besar. Kelemahannya, jenis magnitudo Mw secara alamiah
membutuhkan waktu lebih lama untuk ditentukan ketimbang jenis magnitudo
mb. Sehingga untuk ukuran Indonesia, jenis magnitudo Mw kurang layak
untuk dimasukkan sebagai bagian sistem peringatan dini tsunami.
Gempa Kebumen 25 Januari 2014 ditentukan sebagai gempa dengan
magnitudo mb 6,1 skala Richter (USGS) atau 6,2 skala Richter (BMKG)
dalam versi pembaharuannya. Selisih antara keduanya terhitung kecil,
yakni hanya 0,1 magnitudo dan secara umum bisa diterima. Pun demikian
ukuran kedalaman sumbernya, secara umum juga relatif bisa diterima
karena selisihnya terhitung kecil jika dibandingkan dengan ketebalan
lapisan kerak bumi dan asthenosfer. Demikian pula selisih dalam
koordinat episentrumnya. Sumber perbedaan antara data BMKG dengan USGS
mungkin terletak pada stasiun-stasiun seismometer yang digunakan. BMKG
menggunakan stasiun-stasiun seismometer di Indonesia, yang jaraknya jauh
lebih dekat dengan sumber gempa sehingga menyajikan bacaan yang lebih
teliti. Sementara mayoritas stasiun seismometer yang digunakan USGS
tidak berada di Indonesia, sehingga pembacaannya tidak seteliti stasiun
yang berlokasi di Indonesia.
Magnitudo gempa sejatinya merefleksikan energi yang dilepaskan sebuah
gempa dalam bentuk energi seismik, yakni energi yang dihantarkan
sebagai gelombang-gelombang gempa. Dengan magnitudo 6,1 hingga 6,2 skala
Richter, maka Gempa Kebumen melepaskan energi sebesar 21 hingga 30
kiloton TNT. Sebagai pembanding, kekuatan bom nuklir yang diledakkan di
atas Hiroshima pada akhir Perang Dunia 2 adalah 20 kiloton TNT. Sehingga
energi seismik yang terlibat dalam Gempa Kebumen setara dengan 1 hingga
1,5 kali lipat kekuatan bom nuklir Hiroshima !
Untuk ukuran manusia, energi seismik tersebut tergolong besar dan
menakutkan. Namun energi seismik ini sejatinya hanyalah bagian sangat
kecil dari keseluruhan energi yang terlibat dalam sebuah gempa tektonik,
yang bisa kita sebut sebagai energi total. Energi total sebuah gempa
tektonik bergantung kepada momen seismiknya. Dan momen seismik
bergantung kepada magnitudo Mw-nya. Sejauh ini belum ada publikasi
mengenai nilai magnitudo Mw Gempa Kebumen. Namun jika kita menganggapnya
sama nilainya dengan magnitudo mb, yakni 6,1 hingga 6,2 maka energi
total Gempa Kebumen mencapai 425.000 hingga 600.000 kiloton TNT alias
setara 21.240 hingga 30.000 butir bom nuklir Hiroshima yang diledakkan
secara serentak! Jadi apa yang kita rasakan dalam Gempa Kebumen
sejatinya merupakan pucuk dari sebuah “gunung es” energi yang demikian
besar. Untungnya mayoritas energi ini memang tak dirambatkan ke
permukaan Bumi sehingga tidak menjadi masalah berarti bagi manusia.
Gempa bumi tektonik secara alamiah tak pernah berdiri sendiri. Setelah gempa pertama, yang disebut gempa utama (mainshock), maka akan terjadi gempa-gempa susulan (aftershock).
Gempa-gempa susulan tetap bersumber dari area yang sama dengan gempa
utamanya dan sejatinya menjadi bagian dari upaya segmen batuan yang
terpatahkan dalam sumber gempa untuk menemukan titik keseimbangan baru
pasca pelepasan energinya. Secara umum Gempa Kebumen terbentuk saat
sebuah segmen batuan seluas sekitar 20 x 10 kilometer persegi mendadak
terpatahkan dan bergeser hingga hampir setengah meter. Dalam area seluas
20 x 10 kilometer persegi ini pulalah gempa-gempa susulannya bersumber.
Pada umumnya untuk magnitudo 6 skala Richter, gempa-gempa susulan akan
terus terjadi hingga seminggu pasca gempa utama. Untungnya, magnitudo
gempa susulan selalu lebih rendah dibandingkan dengan gempa utama dan
terus-menerus menjadi lebih rendah seiring berjalannya waktu. Hingga 24
jam pasca gempa utama meletup, telah terjadi 23 kali gempa susulan.
Beberapa diantaranya ada yang dirasakan oleh manusia, namun mayoritas
hanya bisa dideteksi oleh instrumen seismometer.
Area Terdampak
Magnitudo gempa Kebumen masih berada di bawah nilai ambang batas 7,0
skala Richter sehingga tidak memicu aktifnya sistem peringatan dini
tsunami. Secara teori gempa ini hanya menghasilkan gelombang setinggi 5
cm saja di pantai terdekat (yakni pantai Logending, Kabupaten Kebumen)
sehingga terlalu kecil untuk bisa menghasilkan efek merusak. Di sisi
lain, Gempa Kebumen secara teoritis akan menyebabkan tanah bergetar
selama 10 detik saja. Namun dalam praktiknya durasi getaran tanah di
suatu tempat sangat bergantung kepada karakteristik lapisan-lapisan
batuan penyusunnya. Semakin lemah batuannya, atau semakin muda usianya
(secara geologis), maka getarannya akan semakin lama dibanding waktu
getaran teoritisnya sekaligus semakin besar pula daya amplifikasinya
(faktor penguat gelombang gempa). Karena itu tidak mengherankan jika di
dataran rendah alluvial seperti beberapa bagian Kabupaten Kebumen, gempa
ini menggetarkan tanah hingga lebih dari 20 detik. Pun di kota
Purwokerto, yang meskipun berada di dataran tinggi (elevasi 75 meter
dpl) namun tersusun oleh endapan lahar berusia muda dari Gunung Slamet,
maka getaran di sini berlangsung selama 60 detik.
Besarnya getaran menjadi masalah utama yang ditimbulkan Gempa
Kebumen. Secara teoritis gempa ini menggetarkan permukaan Bumi hingga
sejauh 800 km dari episentrum. Namun getaran yang benar-benar dirasakan
oleh manusia, yakni dengan intensitas 3 MMI (Modified Mercalli Intensity)
yang setara dengan getaran akibat melintasnya truk besar kala kita
berdiri di pinggir jalan, terasa hingga 380 km dari sumber gempa. Karena
hampir sekujur pulau Jawa merasakan getaran gempa ini, mulai dari
propinsi Banten di sebelah barat hingga sebagian propinsi Jawa Timur
(yakni hingga kawasan Surabaya-Malang). Dalam catatan USGS PAGER (Prompt
Assessment of Global Earthquake for Response, yakni sistem otomatis
produk USGS yang memprakirakan dampak suatu gempa bumi terhadap populasi
manusia secara geografis) sebanyak 117,3 juta penduduk pulau Jawa
merasakan getaran gempa ini meski dalam intensitas yang berbeda-beda.
Kian dekat ke sumber gempa, kian besar getaran yang terjadi sehingga
kian besar pula intensitasnya.
Sebagai kawasan terdekat dengan sumber gempa, maka Kabupaten Kebumen
dan Cilacap serta kota Cilacap menjadi kawasan yang mengalami getaran
terbesar dengan intensitas tertinggi. Skala intensitas yang dirasakan di
sini mencapai 6 MMI, yakni getaran yang dirasakan oleh semua orang
termasuk mereka yang tidur dan spontan membuat mereka keluar. Getaran 6
MMI secara umum mampu menyebabkan kerusakan ringan seperti retaknya
plester di tembok maupun jatuhnya buku dari rak. Meski demikian untuk
bangunan bermutu rendah ataupun yang terletak di lokasi-lokasi yang
memiliki faktor amplifikasi tinggi, getaran yang dirasakan lebih besar
sehingga mampu menyebabkan kerusakan bangunan dalam tingkat sedang
hingga berat. Inilah yang menyebabkan ratusan rumah di Kabupaten
Banyumas dan Cilacap rusak berat dan ringan. Kerusakan pun dijumpai pada
beberapa rumah di Kabupaten Purworejo, bahkan juga pada beberapa rumah
di Kabupaten Bantul dan Magelang yang terhitung berjarak cukup jauh dari
sumber gempa. Kerugian material pun mencapai milyaran rupiah.
Di Kabupaten Kebumen sendiri, sejauh ini telah diidentifikasi ada dua
rumah di kecamatan Adimulyo rusak berat sementara beberapa rumah di
kecamatan Rowokele mengalami retak-retak. Intensitas getaran bahkan
mampu merontokkan bongkahan-bongkahan batuan di Pegunungan karst Gombong
Selatan hingga berjatuhan ke daratan dibawahnya, meski tak sampai
menghasilkan longsoran berskala sedang/besar.
Kewaspadaan di Masa Depan
Namun terlepas dari kerusakan tersebut, patut disyukuri bahwa Gempa
Kebumen tidak menimbulkan korban jiwa ataupun luka-luka. Kepanikan
memang sempat ada, khususnya di masyarakat pesisir seiring kekhawatiran
terjadinya tsunami. Namun kawasan ini telah belajar dari kejadian Gempa
Pangandaran 17 Juli 2006 yang tsunaminya merenggut nyawa hingga lebih
dari 600 orang. Tatkala getaran keras terasa apalagi dengan durasi yang
terasa cukup lama, tak ada lagi masyarakat yang mencoba mendekat ke
pantai. Mungkin inilah salah satu hikmah yang bisa diambil dari kejadian
Gempa Kebumen 25 Januari 2014. Kewaspadaan masyarakat sudah mulai
terbentuk. Kesiapsiagaan akan tsunami sudah mulai terpupuk dalam memori
publik. Jika di sana-sini masih banyak kekurangan, itu hal yang wajar
dan masih bisa diperbaiki lagi di masa depan.
Membicarakan Gempa Kebumen tak lepas dari perbincangan tentang apa
yang berkemungkinan terjadi bagi kawasan ini di masa depan. Gempa ini
terjadi pada kedalaman menengah sehingga sudah terlepas dari zona
subduksi dimana lempeng Australia yang oseanik (lempeng samudera) saling
bertemu dengan lempeng Eurasia yang bersifat kontinental (lempeng
benua). Karena berat jenisnya lebih besar maka lempeng Australia
melekuk/menelusup ke bawah lempeng Eurasia dan terus bergerak menuju ke
dalam lapisan selubung bumi. Zona subduksi terbentuk mulai dari palung
Jawa, dimana lempeng Australia mulai melekuk, hingga ke kedalaman
maksimum 60 km. Dengan kedalaman sumber Gempa Kebumen sebesar 79 km
(BMKG) hingga 89 km (USGS), jelas ia sudah lebih dalam dibanding zona
subduksi. Sehingga penyebab gempa ini sebenarnya hanya lempeng Australia
saja, khususnya bagian yang mengalami pematahan (faulting). Karena itu Gempa Kebumen tergolong sebagai gempa intralempeng (intraplate), atau sekeluarga dengan Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 (Mw = 7,0) ataupun Gempa Padang 30 September 2009 (Mw = 7,6).
Pada titik ini kembali kita harus bersyukur. Sebab walaupun sama-sama
gempa intralempeng, namun kekuatan Gempa Kebumen masih lebih kecil
dibanding apa yang terjadi dalam Gempa Tasikmalaya 2009 dan gempa Padang
2009. Sebab andaikata kekuatannya setara dengan Gempa Tasikmalaya 2009
dan dengan pola penjalaran gelombang seismik menyamai Gempa Kebumen 25
Januari 2014 ini maka Kabupaten Banyumas dan Cilacap serta Kota Cilacap
dan sebagian Kabupaten Kebumen akan porak-poranda akibat getaran
berintensitas 7 MMI yang dialaminya, tingkat getaran yang mampu membuat
bangunan rusak berat hingga rubuh. Sedangkan bila kekuatannya menyamai
Gempa Padang 2009, akibatnya akan lebih parah lagi karena separuh
wilayah propinsi Jawa Tengah khususnya bagian barat akan porak-poranda
olehnya. Korban jiwa dan luka-luka tentu bakal tak terelakkan, disamping
kerugian material yang sangat besar. Sekali lagi, kita harus bersyukur.
Namun di tengah rasa syukur ini, mari jadikan pengalaman Gempa
Kebumen sebagai bagian dari menjaga kewaspadaan. Sebab potensi gempa
bumi tektonik yang bersumber dari segmen lepas pantai selatan Jawa
Tengah masih tinggi. Jika kita melihat peta kegempaan tektonik di
Indonesia semenjak 1964, akan kita lihat bahwa segmen lepas pantai
selatan Jawa Tengah memiliki jumlah gempa tektonik yang jauh lebih
sedikit dibanding segmen sebelah-menyebelahnya. Padahal seluruhnya
sama-sama berada di zona subduksi yang sama, tempat lempeng Australia
dan Eurasia berinteraksi secara konvergen. Jarangnya gempa di sini
memang bisa saja mungkin terjadi karena segmen ini tidak seaktif segmen
sebelah-menyebelahnya. Namun ada kemungkinan yang jauh lebih berpeluang,
yakni jarangnya gempa karena segmen ini tergolong seismic gap, yakni segmen yang sedang mengalami kuncian dalam zona subduksinya sehingga sedang menimbun energi secara konsisten. Sebagai seismic gap,
segmen ini setara dengan apa yang sedang dialami segmen Mentawai di
pesisir barat Sumatra yang juga sangat jarang mengalami gempa. Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa segmen Mentawai merupakan segmen yang
bersiap menerbitkan gempa besar bahkan akbar dengan kekuatan bisa
mencapai Mw 9,0 atau setara Gempa Sumatra-Andaman 26 Desember 2004
(Gempa Aceh).
Bagaimana dengan segmen lepas pantai selatan Jawa Tengah? Jika segmen ini memang seismic gap
dan kita hanya berfokus hingga 50 km saja ke lepas pantai, maka potensi
gempa bumi tektonik yang tersimpan di sini mungkin bisa berkekuatan Mw 7
hingga 7,5 skala Richter. Namun jika difokuskan pada segmen yang tepat
berada di tepi palung Jawa, maka potensi gempanya mungkin bisa sampai
berkekuatan Mw 8 skala Richter atau lebih. Segmen yang tepat berada di
tepi palung Jawa ini perlu mendapat kewaspadaan lebih karena pengalaman
sejarah. Tepat di sisi baratnya terdapat segmen Jawa Barat, yang telah
melepaskan energinya pada Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 (Mw 7,7) yang
melepaskan tsunami perusak cukup dahsyat ke sekujur pesisir Jawa Barat
dan Jawa Tengah, hingga menelan korban jiwa lebih dari 600 orang.
Sementara segmen sebelah timurnya juga telah melepaskan energinya lebih
dulu dalam Gempa Jawa Timur 2 Juni 1994 (Mw 7,6) hingga menewaskan lebih
dari 200 orang. Maka patut diduga bahwa segmen Jawa Tengah, yang sampai
saat ini masih kalem, kelak pun akan melepaskan energinya sembari
membentuk tsunami perusak yang dahsyat.
Jadi, mari tetap waspada.
Sumber : http://ekliptika.wordpress.com/2014/01/27/beberapa-catatan-terkait-gempa-kebumen-25-januari-2014/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar